Tradisi Tahunan Perang Obor di Desa Tegal Sambi sebagai Ritual Tolak Bala

  1. Home
  2. Uncategorized
  3. Article detail
Tradisi Tahunan Perang Obor di Desa Tegal Sambi sebagai Ritual Tolak Bala

Menggali Sejarah dan Makna Perang Obor

Perang Obor, sebuah tradisi unik yang diadakan setiap tahun di Desa Tegal Sambi, Kabupaten Jepara, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat lokal maupun wisatawan. Pada tahun ini, tradisi ini digelar pada Senin malam, 20 Mei 2024.

Menurut wawancara dengan Kepala Desa Tegal Sambi, Agus Santoso, pada 14 April 2024, tradisi ini bermula dari kisah para sesepuh desa, yakni Kyai Babadan yang kaya raya dan memiliki banyak ternak, serta kerabatnya, Mbah Gemblong. Awalnya, mereka bekerja sama merawat hewan ternak dengan baik, namun suatu hari terjadi kesalahpahaman. Saat seekor hewan ternak sakit kemudian mati, Kyai Babadan melihat Mbah Gemblong membakar dan memakan ikan di tepi sungai. Kyai Babadan mengira Mbah Gemblong tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan marah besar. Ia mencabut obor dari kandang ternak sebagai alat penerangan dan memukulkan obor tersebut ke Mbah Gemblong. Mbah Gemblong pun membalas serangan tersebut, sehingga terjadi perseteruan singkat.

Perseteruan mereka terhenti ketika hewan ternak yang tadinya sakit lari ketakutan dan tiba-tiba sembuh. Mereka berdua meyakini bahwa roh jahat yang menyebabkan ternak sakit telah hilang karena obor yang menyala. Sejak saat itu, mereka mewasiatkan agar keturunannya melaksanakan Perang Obor sebagai pengingat dan tolak bala untuk mengusir roh jahat yang menyebabkan penyakit pada ternak.

Persiapan dan Pelaksanaan Perang Obor

Persiapan Perang Obor dimulai dengan ziarah ke makam Mbah Tegal, orang yang diyakini membuka Tegal Sambi pertama kali, dan ke perempatan Tegal Sambi, tempat makam Mbah Gemblong berada, kemudian ke makam Syaikh Rofi’i, Mbah Sudimoro, Kiai Babatan, Mbah Surgi Manis, Mbah Tunggul Wulung, Mbah Singkil, Mbah Datuk Sulaiman, dan Mbah Towi Kromo. Terdapat 400 obor yang akan digunakan, pembuatan obor dilakukan dua minggu sebelum pelaksanaan.

Menurut Bapak Solihin, pembuat obor tradisional, Obor dibuat dari blarak (daun kelapa kering) dan daun pisang kering. Komposisi obor, lebih banyak daun pisang dan blarak hanya digunakan untuk melilit daun pisang keringnya. Ukuran obor ini berdiameter 20 cm dengan panjang 3 meter.

Puncak Acara Perang Obor

Pada hari pelaksanaan, 40 pemain yang akan memainkan Perang Obor Bersiap dengan baju serta celana yang panjang, yang kemudian dimulai dengan kirab dari rumah kepala desa. Acara diawali dengan adzan dan iqomah, kemudian dilanjutkan dengan kirab hingga perempatan desa yang merupakan lokasi utama tradisi ini berlangsung.
Acara dibuka oleh sambutan Penjabat Bupati Jepara, Bapak Edy Supriyanta, kemudian beliau yang juga menyalakan api pertama kali. Setelah pembawa acara mempersilakan pemain untuk saling memukulkan obornya ke pemain lain. Terdapat 2 arah berlawanan, pemain bergantian untuk saling memukulkannya.
Pelaksanaan perang obor ini dilaksanakan hingga keseluruhan obor habis, yang bisa mencapai waktu 2 jam.

Penghargaan dan Dampak Ekonomi
Perang Obor telah mendapatkan dua penghargaan nasional, yaitu dari Kementerian Pariwisata sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Tradisi Adat Terbaik. Tradisi ini tidak hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat. Setiap tahunnya, acara ini menarik banyak wisatawan yang datang, sehingga meningkatkan pendapatan para pedagang dan pengusaha lokal.

Penanganan Luka

Keselamatan para peserta juga menjadi perhatian utama. Istri Kepala Desa menyiapkan obat tradisional untuk menyembuhkan luka bakar berupa minyak kelapa yang dicampur dengan bunga telon. Bunga telon ini didapatkan setelah melalui proses ritual selama satu tahun, menjadikannya obat mujarab untuk mengatasi luka bakar.

Leave Your Comment